Halaman

Minggu, 02 November 2025

Detective Rio: The Mystery of the Battle of 10 November 1945 in Surabaya and the Death of Dutch Brigadier General A.W.S. Mallaby.

Detective Rio and the Mystery Behind the Battle of Surabaya

The Mission Begins

Detective Rio stepped slowly into a dimly lit archive room inside the National Library, where countless historical documents were carefully preserved. This time, he had been assigned a special mission — to uncover the hidden facts behind the Battle of November 10, 1945, in Surabaya — one of the most pivotal and heroic battles in Indonesian history, marked by the sacrifice of the arek-arek Surabaya, the brave youth of the city.

A mysterious leaflet, the fiery figure of Bung Tomo, and the enigmatic death of Brigadier General A.W.S. Mallaby made this historical event full of unanswered questions.


Journey Through Time

Rio prepared his temporal device, adjusted its settings, and pressed the button that sent him back to Surabaya, late October 1945.

He landed in the middle of a bustling city filled with shouts of young freedom fighters — the arek-arek Surabaya — who were preparing for the arrival of the Allied forces. The air was thick with tension and defiance. Rio could feel the burning spirit of resistance that electrified the streets around him.


The Threat from the Sky

A few days after Rio’s arrival, an Allied aircraft flew low over Surabaya, dropping leaflets across the city. The leaflets contained an ultimatum from the British Army, demanding that all Indonesian fighters surrender and lay down their weapons immediately. The message was harsh and intimidating, warning that if resistance continued, the Allied forces — armed with far superior weaponry — would unleash their full might upon the city.

Rio watched the reaction of the people. Fear and uncertainty flickered briefly on many faces, but it did not last long. Soon, a familiar voice — strong, passionate, and unmistakably resolute — echoed through the airwaves of Radio Pemberontakan (The Rebellion Radio).

It was Bung Tomo.


Bung Tomo and the Fire of Resistance

With fiery conviction, Bung Tomo denounced the Allied threats and called upon the people of Surabaya to defend their newly won independence. Rio, already aware of Bung Tomo’s legendary reputation, could not resist witnessing this moment firsthand.

He slipped quietly into the small broadcasting room in the heart of the city. There, he saw Bung Tomo — a modest man with fierce determination — standing in front of a microphone, his eyes blazing with spirit. With a voice that shook the room, Bung Tomo declared:

“Brothers and sisters of our homeland! As long as there is blood left in our veins, as long as there is red in our hearts to color the white cloth of our flag, we will never surrender to anyone!”

His words echoed across the city, igniting the courage of every fighter. The Allied leaflet became nothing more than a meaningless piece of paper. Under the red-and-white banner, the youth of Surabaya swore an oath — to defend their land to the last drop of blood.


The Death of General Mallaby

In the days that followed, tense negotiations took place between Indonesian leaders and British commanders. General Aubertin Mallaby, who led the British forces in Surabaya, was known to be a diplomatic and cautious man. He reportedly preferred peace. However, behind the scenes, certain factions sought chaos — determined to restore Dutch colonial control under the guise of Allied authority.

Then, on October 30, 1945, tragedy struck.
General Mallaby was killed near the Internatio Building during a chaotic confrontation. Gunfire broke out between the British troops and the Indonesian militia. In the confusion, Mallaby was shot and killed — an event that would serve as the spark for the bloody Battle of November 10.

But something about the incident didn’t add up. Who had really fired the fatal shot?

Rio began his investigation, interviewing witnesses, including a young fighter named Darto, who claimed to have seen a suspicious man near Mallaby’s car moments before the shooting. The man was well-dressed — unlike the local fighters — and carried a small pistol. Darto swore he saw him pull the trigger before vanishing into the crowd.

Digging deeper, Rio discovered a classified memo left behind in a British outpost. The document stated that “the preservation of the Dutch East Indies remains a strategic necessity,” even if it required “a full-scale conflict.” This hinted that Mallaby’s death might have been orchestrated — a deliberate act to justify military intervention.


The Battle of November 10

With Mallaby’s death, war was inevitable. On November 10, 1945, Allied forces launched a massive assault on Surabaya.
Gunfire, explosions, and battle cries filled the air. Thousands of young Indonesians — armed with little more than rifles and determination — fought fearlessly against tanks, aircraft, and artillery.

From his hiding place, Rio listened as Bung Tomo’s voice once again roared through the radio waves:

“We are not afraid! We will fight — whatever it takes! This is our land, our independence!”

That night, Rio witnessed the fierce determination of the arek-arek Surabaya. Even wounded and outnumbered, they refused to retreat. Their courage burned brighter than the explosions that lit the sky. Rio felt deeply moved, realizing that he was witnessing the purest form of patriotism — a fight not for power, but for dignity and freedom.


Return to the Present

Back in the present day, Rio brought with him both the heroism and the mystery surrounding General Mallaby’s death. He shared his findings with Indra, a young historian who had invited him on the mission.

“Bung Rio,” Indra asked, astonished, “so Mallaby’s death might not have been caused by the Surabaya fighters?”

Rio nodded. “That’s right, Indra. There’s a strong possibility that Mallaby was killed by a covert agent — someone who wanted to provoke the Allies into attacking. But one thing is certain: the courage of the arek-arek Surabaya remains untarnished. They fought with honor and heart.”

Indra sighed, his eyes filled with emotion. “This story must be recorded. It’s not just history — it’s the spirit of a nation.”

Rio smiled and agreed. Though the battle had long ended, the spirit of November 10 and the fiery words of Bung Tomo still lived on — inspiring generations to defend the nation’s freedom and dignity.

By. @Septadhana



Indonesian translation :


Detektif Rio melangkah pelan memasuki sebuah ruang arsip gelap di Perpustakaan Nasional, di mana berbagai dokumen sejarah penting disimpan. Kali ini, ia diberikan misi khusus untuk menyelidiki fakta-fakta di balik Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya—salah satu pertempuran terbesar dalam sejarah Indonesia yang penuh pengorbanan arek-arek Surabaya. Sebuah surat selebaran yang misterius, sosok Bung Tomo yang heroik, serta kematian Jenderal Mallaby membuat peristiwa ini penuh teka-teki.




Rio menyiapkan peralatan waktunya, lalu menekan tombol yang mengirimnya kembali ke Surabaya, akhir Oktober 1945. Ia mendarat di tengah kota yang riuh oleh suara pemuda-pemuda pejuang, arek-arek Surabaya yang bersiap menghadapi ancaman pasukan Sekutu. Ketegangan menggantung di udara, dan Rio bisa merasakan semangat perlawanan yang berapi-api di sekitar dirinya.

Selebaran Ancaman dari Udara

Beberapa hari setelah Rio tiba, sebuah pesawat Sekutu terbang rendah di atas Surabaya, menjatuhkan selebaran di seluruh kota. Selebaran itu berisi ultimatum dari tentara Inggris yang mendesak seluruh arek-arek Surabaya untuk menyerah dan meletakkan senjata. Bahasa dalam surat itu keras dan mengancam, menegaskan bahwa jika para pejuang tetap bersikeras bertahan, mereka akan dihadapi dengan kekuatan penuh Sekutu yang memiliki persenjataan jauh lebih kuat.

Rio mengamati reaksi warga dan para pejuang. Ketakutan dan kekhawatiran tampak di wajah sebagian besar orang, namun hanya sesaat. Tak lama setelah selebaran itu tersebar, suara lantang yang dikenal di seluruh Surabaya mulai berkumandang melalui Radio Pemberontakan. Itu adalah Bung Tomo.

Bung Tomo dan Kobaran Semangat Perjuangan

Bung Tomo, dengan semangat berkobar, mengutuk ancaman itu dan memimpin rakyat Surabaya untuk terus mempertahankan kemerdekaan yang baru saja mereka raih. Rio, yang sudah mendengar tentang Bung Tomo sebagai salah satu penggerak utama perlawanan, tidak bisa menahan diri untuk melihat langsung sosok ini di balik mikrofon.

Di ruangan kecil di pusat kota, Rio menyelinap ke ruang siaran Radio Pemberontakan. Di sana, ia melihat Bung Tomo—seorang pria bersahaja namun penuh semangat, berdiri di depan mikrofon dengan sorot mata tegas. Dengan suara menggelegar, Bung Tomo menyampaikan pesan yang membakar semangat:

"Saudara-saudara sebangsa dan setanah air! Selama banteng-banteng Indonesia masih punya darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu kita tidak akan mau menyerah kepada siapapun juga!"

Kata-kata Bung Tomo menggema di seluruh kota, membakar semangat para arek Surabaya dan membuat selebaran ancaman dari Sekutu tak lebih dari selembar kertas kosong. Di bawah panji merah-putih, para pemuda Surabaya pun bersumpah untuk mempertahankan tanah kelahiran mereka hingga tetes darah penghabisan.

Misteri Kematian Jenderal Mallaby

Dalam beberapa hari berikutnya, perundingan antara pimpinan Surabaya dan tentara Inggris terus berlangsung, namun situasinya semakin menegangkan. Jenderal Aubertin Mallaby, yang memimpin pasukan Inggris di Surabaya, diketahui sebagai sosok yang cenderung diplomatis. Ia sebenarnya menginginkan perundingan damai, namun di belakang layar, ada pihak-pihak tertentu yang menginginkan kekacauan demi mengembalikan kekuasaan Belanda.

Pada 30 Oktober 1945, sebuah kejadian yang mengguncang terjadi: Jenderal Mallaby tewas dalam sebuah insiden di dekat Gedung Internatio. Baku tembak pecah di luar gedung ketika massa Surabaya mengepung kawasan itu, dan dalam situasi kacau tersebut, Mallaby terkena tembakan dan terbunuh. Kematian Mallaby menjadi alasan Sekutu untuk melancarkan serangan penuh terhadap Surabaya. Namun, ada satu kejanggalan yang menarik perhatian Rio—siapa yang sebenarnya menembak Mallaby?

Rio memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam kematian Mallaby. Ia mendengar cerita dari beberapa saksi mata, termasuk seorang pemuda bernama Darto yang berada di lokasi kejadian. Darto mengatakan bahwa ia melihat seorang pria berpakaian rapi, berbeda dari pejuang Surabaya, yang mendekati mobil Mallaby sesaat sebelum tembakan terjadi. Pria itu tampak mengeluarkan pistol kecil dan menembak Mallaby sebelum menghilang di tengah kerumunan.

Curiga ada pihak ketiga yang memanfaatkan situasi untuk memprovokasi perang besar, Rio menemukan sebuah memo rahasia di markas Inggris yang tertinggal. Memo itu berisi pesan dari pihak tinggi Sekutu yang menyebutkan bahwa "mempertahankan Hindia Belanda" adalah prioritas utama, bahkan jika itu berarti memulai konflik besar. Ini menunjukkan bahwa pihak-pihak tertentu mungkin sengaja memicu kekacauan agar Sekutu memiliki alasan untuk menguasai kembali wilayah Indonesia.

Pertempuran 10 November

Dengan kematian Mallaby, situasi semakin memanas. Pada 10 November 1945, pasukan Sekutu melancarkan serangan besar-besaran ke Surabaya. Suara tembakan, ledakan, dan pekik perlawanan menggema di seluruh kota. Ribuan arek-arek Surabaya yang bersenjata seadanya mempertahankan kota mereka dengan penuh keberanian, meskipun mereka tahu bahwa kekuatan Sekutu jauh lebih besar.

Bung Tomo terus menyuarakan semangat perjuangan melalui radio, menolak selebaran dan ancaman Sekutu dengan lantang. “Kita tidak gentar! Kita akan melawan, apapun yang terjadi. Ini adalah tanah kita, kemerdekaan kita!” kata Bung Tomo dalam pidatonya.

Malam itu, Rio menyaksikan pemandangan yang menggetarkan: arek-arek Surabaya, yang meski terluka dan kelelahan, terus bertempur demi mempertahankan kota mereka. Mereka tidak menyerah, meskipun tahu peluang untuk menang kecil. Detektif Rio merasa terpana melihat betapa gigihnya perjuangan rakyat Surabaya, yang tak membiarkan ancaman dan kekuatan besar merampas kemerdekaan mereka.

Kembali ke Masa Kini

Kembali ke masa kini, Rio membawa serta kisah heroik dan juga misteri yang menyelimuti kematian Jenderal Mallaby. Ia menceritakan temuannya kepada Indra, sang sejarawan muda yang mengajaknya untuk menyelidiki peristiwa ini.

“Bung Rio, jadi kematian Mallaby ini bisa jadi bukan karena rakyat Surabaya?” tanya Indra, terkejut.

Rio mengangguk. “Betul, Indra. Ada kemungkinan besar kematian Mallaby dipicu oleh agen tersembunyi dari pihak yang ingin menekan Indonesia. Kematian itu menjadi alasan bagi Sekutu untuk menyerang besar-besaran. Tapi yang pasti, perjuangan arek-arek Surabaya tak ternoda oleh intrik itu. Mereka berjuang dengan hati dan keberanian.”

Indra menghela napas, terharu. “Kisah ini perlu dicatat. Ini bukan sekadar sejarah, tetapi semangat yang harus kita jaga.”

Rio mengangguk setuju. Meski pertempuran telah berakhir, semangat perjuangan arek Surabaya dan pesan-pesan heroik Bung Tomo tetap hidup, menjadi inspirasi bagi generasi penerus bangsa dalam menjaga kemerdekaan dan martabat tanah air.


By. @Septadhana


Tidak ada komentar:

Posting Komentar